gambar diambil dari google
Semua menanyakan hal yang sama. Rata-rata: “Sudah ada kabar?”, “Ada info apa soal penggumuman?”, “Aduh deg-degan.”, “Liat di website apa ya hasilnya?”. Semua harap-harap cemas menanti hasil kerja keras belajar, olahraga mata, dan doa selama ini. Hingga dini hari (ah, rupanya sekarang sudah tanggal 24) mereka masih juga terus bermunculan. Mungkin juga sulit tidur karena terlalu tegang.
Salah seorang teman saya berkata bahwa kepala sekolah kami telah memasang status BBM yang terkesan cukup melegakan, bunyinya kira-kira “Alangkah baiknya Tuhan yang mahabaik.”. Langsung saja kami menduga bahwa seluruh siswa sekolah kami lulus 100%. Ketika saya mencoba mengonfirmasi, saya mendengar jawaban yang luar biasa, “Apapun hasilnya, Tuhan tetap mahabaik bukan? Bagaimanapun, segalanya patut disyukuri.”.
Saya tak tahu apakah sekolah telah menerima hasil atau belum, dan teman-teman saya masih banyak yang tenggelam dalam kecemasan dan kepanikannya masing-masing. Namun entah mengapa, jawaban kepala sekolah yang semacam itu membuka mata saya. Saya tak lagi merasa cemas akan hasilnya. Apapun itu, saya merasa siap.
Saya telah berjuang keras untuk UNAS kemarin, dan saya tahu kemampuan saya. Hasil dan nilai UNAS yang bagaimanapun tidak akan mempengaruhi nilai saya sebagai manusia. Saya menjadi sadar bahwa kelulusan hanyalah sebuah pintu masuk ke tahap hidup yang selanjutnya. Tapi bukan itu tujuan utamanya. Saya tak lagi merasa perlu menjadi terlalu cemas karenanya. Saya telah mendapat ilmu yang saya butuhkan selama masa belajar, dan jika saya lulus, moga-moga dengan nilai yang bagus, itu hanyalah bonus semata dari Tuhan yang memang mahabaik.
Saya teringat akan tantangan salah seorang teman yang nyata-nyata berbuat curang “Ayo, tinggi-tinggian nilai UNAS, Dith.”. Saya ingat sekali, pagi itu ia begitu percaya diri dengan ’secarik senjata ampuh’ di balik retsleting celananya. Ia begitu yakin, senjata yang telah rapi ia persiapkan dan sembunyikan akan menolongnya. Dengan enteng saya menerima tantangannya. Dan saya sama sekali tidak khawatir. Bukan berarti saya pasti menang, mungkin sekali senjatanya kebetulan pas dan ia meraih nilai gemilang jauh di atas saya, namun toh kalau hal itu terjadi, hal itu sama sekali tak akan mengurangi penghargaan terhadap diri saya sendiri.
Saya cukup prihatin dengan adanya siswa-siswi yang tak jujur selama UNAS. Bukankah kecurangan saat pengerjaan ujian merupakan tanda ketiadaan penghargaan atas diri sendiri? Ketiadaan kepercayaan diri dan pelecehan terhadap anugerah akal budi yang telah Tuhan berikan. Mungkin sekali mereka akan lulus, akan senang, dan akan lega, lantas? Nilai tinggi dengan otak yang kosong rasa-rasanya juga tak akan ada gunanya.
Saya memilih memperkaya intelektualitas dan pengetahuan saya, serta berusaha untung tidak menulikan diri terhadap suara hati nurani. Diri saya lebih berharga dari sekadar angka-angka di atas kertas. Saya lebih membutuhkan bekal yang telah sedikit demi sedikit saya kumpulkan selama 3 tahun di SMA untuk kehidupan saya selanjutnya, daripada sekadar coretan nilai berupa angka yang entah akan dilihat oleh siapa.
Apapun hasil besok, saya siap. Tuhan mahaadil, mahabaik, dan mahapenyayang. Saya telah berusaha keras dan hasil besok akan tetap terasa manis, selama itu saya peroleh dari jerih payah dan keringat saya sendiri. Sudah tentu akan ada siswa-siswi dimana pun itu yang tidak lulus (semoga saja bukan saya), namun tetap, tak ada alasan untuk menjadi marah kepada siapapun. Kita hanya akan memetik hasil dari apa yang telah kita tanam dan usahakan.
Saya berharap tulisan ini dapat membuka pikiran Anda, bahwa diri Anda berharga. Lebih berharga dari nilai, uang, harta, dan benda. Kenapa? Anda berharga karena Tuhan yang mahabaik telah mau repot-repot menciptakan Anda, padahal sudah begitu banyak manusia di dunia.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/24/detik-detik-menjelang-pengumuman-unas-sma-2013-sebuah-perenungan-singkat-562788.html
0 komentar:
Posting Komentar