Tetapi yang menjadi masalah, adalah jika hal ini kemudian dianggap sudah qath'iy (pasti kebenarannya) lalu celaan dan vonis dilontarkan seolah-olah masalah ini sudah muttafaq-'alayh (disepakati kebenarannya) di kalangan kaum Salaf. Dan yang lebih parah hal ini pun diikuti dengan tuduhan-tuduhan muttabi'ul-hawa' (para pengikut hawa nafsu), 'abdul-kuffar (pengabdi orang kafir) oleh sebagian kaum juhala' terhadap fatwa para ulama yang berbeda dalam masalah ini, maka sikap seperti ini adalah telah menyimpang dan harus diluruskan.
Jika kalangan ulama mujtahidun masing-masing mereka bersikap keras dan tegas dengan pendapatnya masing-masing, maka yang demikian itu memang dibolehkan, karena hal demikian adalah demi untuk menegakkan hujjah dan menjelaskan dalil masing-masing pihak di antara mereka, dan yang demikian ini biasa di kalangan salaf. Tapi jika sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya, maka hal ini hanyalah menunjukkan kebodohan dan lemahnya ilmu serta rendahnya akhlaq belaka.
Mengapakah para muqallidin (pengikut) ini ikut-ikutan bersikap-keras dan mencela serta memvonis? Apakah mereka sedang menegakkan hujjah, maka hujjah apakah itu namanya, jika cuma bisa meng-copy fatwa Syaikh Fulan dan ustadz Fulan? Siapakah mereka sehingga berani menyalahkan ulama mujtahid yang berbeda dengan mereka, yang pendapatnya juga disandarkan kepada dalil yang shahih? Tidaklah hal yang demikian ini kecuali hanya menunjukkan tong kosong yang berbunyi nyaring dan juga berakhlaq kering, salaamun 'alaykum laa nabtaghil jaahiliin.
***
Arti Bahasa
Nyanyian/lagu dengan huruf 'ghin' yang ber-harakat kasrah diartikan melebihkan/memperindah [1] sebagaimana dalam hadits, "Bukan golonganku orang yang tidak melebihkan/memperindah suara saat membaca Al-Qur'an." [2]; juga diartikan suara, keindahan, dan kecantikan [3]; nyanyian, tabuhan, senandung/nasyid, bacaan yang nyaring dan merdu [4] sebagaimana dalam hadits, "Tidaklah ALLAH SWT lebih menyukai sesuatu daripada mendengar bacaan NabiNYA yang membaca Al-Qur'an dengan suara yang merdu." [5]. Atau dalam hadits lainnya, "Hiasilah Al-Qur'an itu dengan suaramu, karena suara yang indah akan menambahkan keindahan Al-Qur'an." [6]; juga bermakna alat musik [7] dan sya'ir [8] sebagaimana yang dilakukan Al-Hasan bin Tsabbit RA, ahli sya'ir di masa nabi SAW. Tapi ia juga bisa bermakna melalaikan, sebagimana dalam ayat [9] atau dalam ayat yang lain [10].
Jadi, nampak jelaslah bahwa ia memiliki dua makna yang berbeda, makna yang baik (sebagaimana dalam hadits-hadits di atas) maupun makna yang yang buruk (sebagaimana dalam ayat-ayat di atas), sehingga membawa makna yang hakiki hanya pada satu makna saja, hanyalah sebuah kezhaliman belaka.
***
Dalil-Dalil Al-Qur'an yang Dianggap Mengharamkan dan Bantahannya
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." [11].
Ada atsar shahih dari Ibnu Mas'ud RA yang bersumpah dengan berkata, "Demi ALLAH maksudnya adalah nyanyian." [12]. Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa tafsir sahabat RA sederajat dengan hadits marfu', demikian pendapat Al-Hakim dan Ibnul Qayyim [13], sehingga tafsir ini dianggap merupakan satu-satunya tafsir atas ayat tersebut.
Pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama Salaf lainnya, bahwa pendapat tafsir sahabat RA sederajat dengan hadits marfu' tidak benar, kecuali jika mengenai sabab-nuzul ayat saja, karena seringkali antara seorang sahabat RA dengan sahabat RA yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan sebuah ayat, maka bagaimana mungkin disetarakan dengan hadits marfu' [14]?
Di antara mereka yang tidak setuju dengan pendapat tafsir sahabat RA sederajat dengan hadits marfu' ini adalah Imam Ibnu Hazm. Beliau berhujjah : 1) Tidak ada seorang pun yang pendapatnya ma'shum kecuali Nabi SAW; 2) Tafsiran tersebut berbeda dengan tafsiran sahabat RA dan tabi'in yang lainnya; 3) Nash ayat itu sendiri sudah membantah hujjah mereka sendiri.
Menurut penulis : Benarlah apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm tersebut, berkaitan dengan point (2) yang dikatakannya. Misalnya, tafadhal dilihat dalam tafsir Ulama Salaf atas ayat tersebut, bahwa terjadi perbedaan pendapat tentang makna ayat ini, ada yang berpendapat maknanya adalah "nyanyian dan musik" [15], ada yang berpendapat maknanya adalah "kata-kata yang batil", dan ada yang berpendapat maknanya adalah "syirik" [16]. Bahkan Syaikhul Mufassir di kalangan Ulama Salaf sendiri, yaitu Imam At-Thabari setelah menyebutkan perbedaan pendapat tentang tafsir ayat ini berkata, "Yang benar menurut pendapatku adalah : Segala sesuatu perkataan yang melalaikan dari jalan ALLAH, maka semua itu yang termasuk yang dilarang oleh ALLAH dan RasulNYA, karena ALLAH SWT menjelaskan dengan lafzh yang umum ('amm) dan IA tidak mengkhususkannya dengan sesuatu pun, maka ia tetap pada keumumannya sampai adanya dalil tentang pengkhususan maknanya, baik itu musik atau syirik, semuanya bisa saja menjadi maknanya." [17].
Adapun berkaitan dengan hujjah ke (3) yang dikatakannya juga benar, karena ayat tersebut mengancam pelakunya menjadi kufr biduni khilaf (kafir tanpa khilaf lagi), sementara tidak ada keterangan Salaf yang menyatakan bahwa bermain musik menjadikan pelakunya menjadi kafir sebagaimana ancaman dalam ayat ini [18], Imam Ibnu Athiyyah juga berpendapat kafirnya pelaku dalam ayat ini [19], Imam Ar-Razi menyatakan bahwa demikian jahatnya pelaku yang dicela dalam ayat ini, karena mereka bersifat : (1) Menjual ayat ALLAH dengan harga murah; (2) Bersikap sombong luar-biasa, yang dicirikan dengan kalimat takabbur yang sangat; (3) Hati yang keras membatu tidak bisa menerima kebenaran [20]. Maka kesemuanya itu tidak mungkin dikarenakan hanya karena ia adalah seorang pemusik atau ia suka mendengarkan musik. WaliLLAAHil hamdu wal minah.
( http://intangirls.multiply.com/journal/item/25 )
0 komentar:
Posting Komentar