Jumat, 31 Desember 2010

Tradisi Kuno Kediri – Rampog Matjan

LEBARAN BERSAMA RAMPOG DI ZAMAN KUNO

Suatu siang yang terik di alun-alun kota Kediri. Ribuan orang berjejal memenuhi
alun-alun, menimbulkan suasana hiruk pikuk. Mereka berdiri berdesakan
mengelilingi alun-alun dan membuat arena dalam bentuk lingkaran besar, sedangkan
orang yang berdiri bersiap ke belakang. Sedangkan yang berdiri di barisan paling
depan masing-masing memegang tumbak yang runcing. Semuanya bersikap siaga,
berdiri tegak dengan pandangan tajam mengawasi si macan tutul yang berlarian di
tengah arena. Jika si harimau lari ke Timur, dihalau ke Barat, dengan
sendirinya sambil ditusuk dengan ujung tombak yang runcing dan tajam. Para
penonton pun bersorak sorai riuh sekali, seperti membelah bumi dan meruntuhkan
langit tanggal 1 Syawal, sekitar pukul dua belas siang.

Tidak berapa lama macan tutul tadi sudah luka parah dijadikan sasaran ribuan
tombak. Ada yang langsung mati dengan luka tak terhitung jumlahnya, mirip
Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat
dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah.
rampog matjan 1895 Tradisi Kuno Kediri Rampog Matjan

rampog matjan kediri

Namun demikian, ada juga harimau yang lolos dan selamat dari kepungan tombak,
kemudian melarikan diri dari arena. Jika terjadi demikian, para penonton makin
riuh, lari ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Yang tidak memegang tombak
berlarian tanpa arah, berusaha jangan sampai menjadi mangsa harimau.

Begitulah gambaran secara singkat saat merayakan Hari Raya Lebaran atau yang
dalam bahasa Jawa disebut Bakda, pada zaman kuno, sekitar tahun 1890-an sampai
dengan 1900-an . Tradisi menombak harimau itu biasa disebut ngrampog. Hampir
setiap kabupaten umumnya melakukan tradisi seperti itu untuk merayakan Hari
Lebaran. Namun setelah menginjak tahun 1905, peme rintah Belanda melarang
rampogan macan. Sebagai akibatnya, setiap Lebaran atau Bakda, menjadi kurang
ramai.

Kandang macan

Ketika tradisi rampogan ini dikerjakan, masih banyak ditemukan harimau di
hutan-hutan. Harimau-harimau tadi sering mengganggu petani karena sering makan
hewan ternak, terkadang juga memangsa manusia. Karena itu para pejabat atau
penguasa memerintahkan menangkap harimau yang merugikan petani tersebut. Bahkan
jika perlu dibunuh. Yang bisa menangkap sekaligus membunuh harimau akan diberi
hadiah sepuluh sampai dengan lima puluh gulden, tergantung besar atau kecilnya
si macan.

Untuk itu sejak bulan Ruwah dan Puasa desa-desa di sekitar hutan sudah mulai
memasang jerat atau perangkap di hutan dengan maksud untuk menangkap harimau.
Biasanya diberi umpan kambing atau anjing. Harimau yang tertangkap kemudian
dikurung, sampai saatnya dipergunakan.

Setelah dikurung dalam waktu yang tidak terlalu lama, harimau atau macan tutul
tadi dibuat bancakan, ditusuk tumbak dari berbagai arah.

Ngrampog macan atau merampog harimau

Untuk merayakan Hari Lebaran setelah berpuasa sebulan penuh, zaman dulu di
alun-alun diadakan berbagai macam keramaian. Ibaratnya, semua penduduk hadir di
alun-alun, menonton keramaian menyambut Lebaran. Berhubung Idul Fitri merupakan
Hari Raya yang hanya sekali dalam setahun, maka saat eksekusi terhadap harimau
yang tertangkap tadi dijatuhkan bersamaan dengan jatuhnya Hari Pertama Idul
Fitri, atau tepatnya tanggal 1 Syawal, sekaligus dijadikan tontonan atau
hiburan.

Ketika ada rampogan, di pekarangan yang berdekatan dengan alun-alun-alun,
dibuatkan kandhang macan yang terbuat dari ruyung (pohon aren/kelapa) atau besi
ukuran 2 X 2 X 2 M, yang diatur berjajar. Tentu saja kandang tadi dijaga siang
malam. Harimau yang besar, kandangnya terbuat dari ruyung. Alasannya, supaya
harimau tidak bisa keluar dari krangkeng karena takut terselusup (tlusupen,
Jawa) ruyung. Sebaliknya, jika hanya menggunakan besi, meski besarnya sebesar
tangkai sabit, tetap bisa dijebol. Kandang tadi dipasangi pintu seperti pintu
bagasi mobil, sedang bagian atas diberi atap yang terdiri atas 2 bagian papan
yang menjadi atapnya.
rampog matjan kediri 1895 Tradisi Kuno Kediri Rampog Matjan

rampog matjan kediri

Bersamaan dengan keramaian rampogan, arena yang luas di alun-alun dikelilingi
ribuan orang, yang berdiri tegak memegang tumbak. Semua mata tertuju ke kandang
macan. Dengan peralatan yang dapat menarik pintu ke arah atas, maka tatkala
tali ditarik dari kejauhan, kerangkeng itu akan rusak berantakan, dan menimpa
harimau di dalamnya. Karena terkejut, harimau lari keluar, yang akan disambut
dengan ribuan tombak yang runcing. Inilah yang disebut rampogan, atau dengan
kata lain membunuh harimau dengan cara dirampog atau dikeroyok dengan ribuan
senjata.

Lebaran dan Barisan

Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan berdandan
habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan, masing-masing membawa
tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga puluh, secara serentak para
pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk menghadap para pembesar) dan
menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan mereka
diiringi dengan Gendhing Monggang. Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh
sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri
seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan dengan
arak -arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa.

Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang
selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat.
Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti
baju keprajuritan. Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan
untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa
keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk
sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung.
Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri ,
nonton dari atas panggung.

Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam
barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar
dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima
lapis. Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya
panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten
serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk
memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang
Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat
bahwa rampogan segera dimulai.

Di antara barisan di beringin kurung dan barisan di pinggir ada peti kayu
dengan panjang sekitar 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 60 sentimeter, ditata
menghadap keluar, membelakangi barisan dalam. Itulah kerangkeng harimaunya, yang
masih terkunci dengan dipantek bambu, ditutup dengan papan, diberi pengait
panjang hampir mencapai Beringin Kurung. Tukang melepas harimau yang disebut
gandek juga sudah bersiaga di barisan bagian dalam.

Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya,
yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam
menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng,
menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya,
jatuh menimpa si harimau.

Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing
karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng
hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian
menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas
matahari. Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud
agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak
menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta
diacungi tombak.

Ada suatu kejadian di Blitar. Kebetulan harimaunya galak, ditangkap dari hutan
Lodaya. Namun karena Bupati Blitar memiliki senjata berupa cemeti yang ampuh,
harimaunya menjadi jinak, bisa diajak bermain seperti anak kucing yang digoda
dengan bulu.

Ada lagi versi lain. Jika harimaunya sudah tua, kadang memberikan firasat dalam
mimpi. Kalau saja ia akan dirampog, ia akan merusak orang se negara. Jika ada
kasus semacam ini, si harimau dibawa ke kebun binatang atau direndam didalam
air sampai tenggelam, supaya mati.

Kadang-kadang harimau itu tak mau lari juga, hanya termenung di depan tombak
yang ampuh. Kata orang, harimau semacam itu memang minta diruwat atau dibunuh.
Tetapi jika harimaunya lari menerjang barisan, orang yang dituju si macan harus
siaga dengan tombak, badan agak miring, kaki kakan di belakang untuk menyangga
tubuh, tangan kiri memegang tengah tangkai yang berfungsi sebagai landasan,
sedang tangan kanan memegang pangkal, menggerakkan arah tombak.

Gerak-gerik orang yang menjadi peserta rampogan beraneka macam. Ada yang
pemberani, ada yang penakut, atau kemudian lemas ketakutan bahkan juga yang lari
tunggang langgang, tombaknya terseret-seret sepanjang jalan.

Harimau berhasil lolos

Jika ada harimau besar berhasil mati dirampog dan tidak berhasil meloloskan
diri, gandheknya mendapat pujian, ia menari-nari di tengah alun-alun, disoraki
banyak orang. Rampogan macan akan lebih ramai dan asyik justru jika ada harimau
yang berhasil lolos dan keluar dari arena. Tingkah laku manusia di alun-alun
ribut tak karuan. Ada yang kehilangan anak, kehilangan teman, ada yang mendapat
kecelakaan, bahkan ada yang mencopet perhiasan penonton.

Di Kediri pernah ada rampog yang berhasil lolos, karena harimaunya masih segar
dan liar lantaran baru saja tertangkap. Saat lepas, dia lari dengan cepat,
ekornya tegak menantang lan menerjang pasukan. Ketika dijemput dengan tombak dia
justru meloncat dan menjatuhkan diri serta menimpa orang yang berada di lapis
depan. Enam orang yang ditubruk tentu saja luka berdarah terkena cakaran
harimau. Sementara itu, peserta rampog yang lain melarikan diri sambil membawa
tombak, tidak peduli dengan nasib orang lain, bahkan ada yang menabrak dagangan
orang sehingga langsung berantakan seketika. Si macan kemudian bersembunyi di
bawah bangku tempat orang berjualan. Penjualnya berteriak-teriak, kemudian
memukuli bangkunya dengan pikulan. Akhirnya si harimau mati dikroyok tombak
orang banyak.

Ada lagi kejadian lucu. Ketika harimaunya berhasil lolos, ada orang yang nekat
mencari kesempatan dalam kesempitan dengan menggerayangi tubuh seorang
perempuan. Ketika ketahuan polisi, orang tersebut dipukul dengan pedhang yang
masih bersarung. Karena banyak yang mengira bahwa orang tersebut pencopet, ia
kemudian dikeroyok hingga pingsan. Ketika orang itu sudah hampir mati, barulah
ia ditolong, diangkat seperti orang mengangkat babi hutan. Nah, ketika para
pemikulnya meloncati sungai kecil, mereka pura-pura terpeleset, dan orang yang
digotong jatuh ke sungai.

Di Blitar ada kejadian yang memilukan. Walau terluka perutnya karena tusukan
tombak, si harimau sempat lolos dan naik ke pohon beringin. Dengan sendirinya
orang-orang yang juga memanjat beringin banyak yang turun merosot ke bawah untuk
menyelamatkan diri. Salah seorang di antaranya adalah seorang Cina. Begitu tahu
harimaunya memanjat pohon, iapun nekat meloncat turun. Begitu sampai di tanah ia
langsung pingsan, kepalanya bermandikan darah, karena kulit kepalanya
terkelupas. Rupanya, kuncirnya yang panjang itu sebelumnya telah diikatkan pada
sulur beringin oleh seorang anak yang usil. Waktu itu, memang para Cina masih
menguncir rambutnya, tidak model pendek seperti sekarang ini.

Sekitar pukul 14.00 rampogan sudah selesai. Kalau sudah begitu, banyak orang
menyesali tombaknya. Katanya, tombaknya takut macan, baru diarahkan saja si
tombak sudah letoi, mlungker. Kepercayaan orang waktu itu, memang ada tombak
yang penakut. Sambil memukuli si tombak, orang tersebut mengomel, “Tombak macam
apa ini, disayang-sayang, dihormati, dan dikutuki (dibakarkan kemenyan) setiap
hari Jumat, tapi saat dibawa ngrampog kok memalukan. Baru lihat gerak-gerik
macan saja, sudah letoi. Awas ya, jika sudah sampai di rumah akan kugadaikan
kamu!”, begitu omelnya kepada si tombak miliknya.

Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu tombak bisa
dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan umum, kalau
tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya, bahu dari si
pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu. Meskipun hanya terasa
sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya ampuh,
manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri dan melompat
sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti itu, si keris haruslah
dibungkus terlebih dahulu.

Dicuplik dari: BAKDA MAWI RAMPOG (Lebaran Bersama Rampog), oleh: R. Kartawibawa,
Bale Poestaka, 1928

source: komik-indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls